Skip to main content

SEJARAH CIANJUR

Dokumen Salakanagara
Oleh : Luki Muharam, Divisi Sejarah dan Nilai-nilai Tradisional Lembaga Kebudayaan Cianjur (LKC), Divisi Sejarah Paguyuban Pasundan Kab. Cianjur, Wartawan Tabloid Sunda “ GALURA” grup Pikiran Rakyat Bandung.

Selama ini sejarah Cianjur seolah berhenti dalam riwayat Dalem Cikundul Rd. Jayasasana Bupati Cianjur yang memerintah antara tahun 1677-1691. Kendati pada masa itu belum lahir nama kabupaten Cianjur namun tetap Dalem Cikundul dianggap sebagai Bupati pertama.
Sebetulnya masih banyak riwayat Dalem Cikundul lainnya yang belum terungkap, namun sayangnya sejarah Dalem Cikundul hingga kini hanya berkutat diseputar pernikahannya dengan putri jin hingga memperoleh tiga anak yakni Rd. Suryakancana yang memerintah kerajaan jin di gunung Gede Cianjur, Rd. Endang Sukaesih yang bersemayam di gunung Ceremai dan Rd. Andaka Wirusajagat yang bersemayam di Kumbang Karawang.

Hampir semua elemen masyarakat merasa cukup mengenal Dalem Cikundul sebatas pernikahannya dengan putri jin tersebut, yang uniknya semua elemen itu meyakini bahwa Dalem Cikundul adalah penyebar agama Islam di Cianjur, namun tatkala ditanya dipesantren mana Dalem Cikundul menimba ilmu ? dan kiprahnya apa saja dalam penyebaran agama Islam ? dua pertanyaan tersebut nyaris tidak terjawab karena sebagian besar elemen masyarakat sudah merasa cukup mengenal sosok Dalem Cikundul yang “prestasinya” hanya menikahi putri jin. Padahal apabila disimak, kiprah Dalem Cikundul begitu banyak dalam syiar Islam dibeberapa babad dan wawacan, jadi tidak hanya sekedar menikahi putri jin.

Demikian juga dengan keberadaan Cianjur seolah-olah sebelum datangnya Dalem Cikundul hanya berupa hutan belantara yang belum tersentuh manusia. Padahal setelah dipopulerkannya penelitian tentang situs batu gunung Padang tahun 2011, kita semuanya dibuat tercengang oleh penelitian para ahli dari berbagai disiplin ilmu, karena ternyata sejak 13 000 tahun SM di Cianjur sudah terdapat peradaban manusia yang dengan gilang gemilang membuat bangunan megah yang kita kenal sebagai situs gunung Padang di desa Karyamukti Kec. Campaka Cianjur.

Selain gunung Padang didalam naskah Pangeraaan Wangsakerta tahun 1677, yang diterjemahkan Yoseph Iskandar menjelaskan bahwa pada abad kedua Masehi di Cianjur pernah berdiri sebuah kerajaan yakni kerajaan Ujung Kidul yang beribukota di Agrabintapura, diperkirakan lokasinya di sekitar kecamatan Agrabinta sekarang. Walaupun naskah Wangsakerta hingga kini masih diperdebatkan oleh para sejarawan, namun dalam paparannya menyebutkan bahwa kerajaan Ujung Kidul diperintah oleh Prabu Sweta Liman Sakti yang merupakan adik kandung dari Prabu Dewawarman raja kerajaan Salakanagara di Pandeglang Banten. Sayangnya sejarah kerajaan Ujung Kidul atau kerajaan Agrabintapura dalam naskah Wangsakerta hanya sebatas masa pemerintahan Prabu Sweta Limansakti, hingga kini belum diketemukan sejarah atau dongeng tentang kelanjutan kerajaan tersebut yang terhubung dengan sejarah Dalem Cikundul

Selain itu Rd. Damanhuri mantan Sekretaris Daerah Kab. Cianjur tahun 1970-an dalam bukunya yang berjudul HIKAYAT SUATU BANGSA HINGGA LAHIRNYA NEGERI CIANJUR JILID I menyatakan bahwa di kecamatan Bojongpicung Cianjur pernah berdiri kerajaan Tanjungsinguru dengan rajanya Prabu Jakasusuru. Damanhuri menjelaskan bahwa kerajaan Tanjungsinguru pernah diserang oleh pasukan dari Kesultanan Banten, namun serangan tersebut dapat dipatahkan oleh bantuan pasukan dari kerajaan Pajajaran.

Dalam sumber pantun yang disusun oleh penulis dan wartawan Budi Rahayu Tamzah dipaparkan bahwa Prabu Jakasusuru nama kecilnya adalah Raden Munding Kasiringan Wangi yang merupakan putra raja Pajajaran Prabu Siliwangi. Sayangnya kelanjutan sejarah kerajaan Tanjungsinguru hanya sebatas jaman Jakasusuru, hingga kini belum diketemukan naskah lainnya yang dapat menghubungkan dengan sejarah Dalem Cikundul. Namun demikian, terdapat sejarah lain tentang kerajaan di Cianjur pada masa lampau yang lengkap yaitu kerajaan Jampang Manggung yang penulis dapatkan secara lisan dari ahli waris kerajaan Jampang Manggung yakni K.H. Djallaluddin Isaputra (51) sesepuh pondok pesantren Bina Akhlak di kampung Sukawargi desa Babakan Karet Kecamatan Cianjur.

Sayangnya beberapa peninggalan kerajaan kini sudah raib dijual oleh salah seorang kerabat KH. Djalaluddin. Peninggalan yang kini tersisa dan disimpan dengan baik berupa puluhan senjata pusaka dengan beragam usia , malah terdapat senjata Tosa peninggalan Prabu Kujang Pilawa raja pertama Jampang Manggung diperkirakan benda pusaka peninggalan abad ke 5 Masehi.

Sedangkan buku sejarah berupa kitab Wawacan turut raib dijual oleh salah seorang kerabat KH. Djalaluddin. Wawacan kerajaan Jampang merupakan sejarah kerajaan terlengkap hingga tersambung dengan Dalem Cikundul, yang akan penulis paparkan dalam kesempatan ini . Selain kerajaan-kerajaan, ternyata di Cianjur juga pernah berdiri beberapa pemerintahan kabupaten yang sejaman dengan Dalem Cikundul, diantaranya Kabupaten Cibalagung dengan empat orang Bupati yang memerintah secara turun temurun dengan menyandang gelar Dalem Aria Natamanggala. Kabupaten Cibalagung didirikan oleh Raden Natamanggala, kemudian mendapat pengesahan dari Sultan Mataram sehingga bupati Cibalagung pertama ini mendapat gelar dari Sultan Mataram nama Raden Mas Babad Angsal atau Satria Kinayungan.

Namun ternyata dalam babad Cibalagung terdapat juga versi lain yang dipercaya sebagai pendiri kabupaten Cibalagung yakn Dalem Aria Yuda. Keturunan Dalem Aria Yuda hingga kini masih hidup dan menyimpan berbagai pusaka yang dikeramatkan sepeti goong renteng, uang logam, pedang dsb. Dan yang paling utama adalah surat pengangkatan Dalem Aria Yuda sebagai bupati Cibalagung oleh Sultan Cirebon. Surat tersebut dicap Kesultanan Cirebon dan masih tersimpan di salah seorang ahli waris Dalem Aria Yuda di desa Bobojong Kec. Mande. Pada tahun 1972 surat tersebut pernah diteliti oleh Drs, Atja namun tidak ada kelanjutannya. Pada kesempatan lain mudah-mudahan dapat kita simak beberapa versi Babad Cibalagung tersebut. Selain Cibalagung, terdapat pula Kabupaten Cihea yang kini masuk dalam wilayah kecamatan Haurwangi Cianjur.

Bupati Cihea yang terkenal adalah Dalem Pasir Mataram yang makamnya masih ramai dikunjungi penjiarah di gunung Cupu desa Cihea kecamatan Haurwangi. Dalem Pasir Mataram hidup sejaman dengan Dalem Cikundul, menurut diktat berjudul SEJARAH KANJENG DALEM CIKUNDUL yang dicetak Yayasan Wargi Cikundul tahun 1996 Dalem Pasir Mataram nama kecilnya adalah Raden Nerangbaya. Sedangkan Cihea dibangun atas instruksi Sultan Mataram Amangkurat I (1646-1677).

Penguasa kesultanan Mataram ini terkenal dekat dengan penjajah Belanda dan selalu curiga terhadap para bupati ditatar Sunda akan berontak kepadanya. Oleh karena itu Amangkurat I mendirikan kabupaten Cihea sebagai sarana memata-matai sepak terjang para bupati Sunda khususnya Dalem Cikundul, Dalem Cibalagung, Dalem dll. Dalem Pasir Mataram ditugasi untuk mengawasi gerak-gerik para bupati Sunda yang dikhawatikan akan berontak kepada Sultan Mataram. Babad Cihea juga terdapat beberapa versi, mudah-mudahan pada kesempatan lain dapat penulis sampaikan. Sebagai penutup seperti diutarakan tadi akan penulis sampaikan sejarah singkat kerajaan Jampang Manggung yang menurut penulis patut diangkat karena sejarahnya cukup lengkap hingga tersambung dengan Dalem Cikundul dan masih memiliki benda-benda peninggalan para raja Jampang Manggung. Kerajaan Jampang Manggung didirikan oleh Prabu Kujang Pilawa sekitar abad ke 5 Masehi. Kujang Pilawa adalah menantu Raja Sugiwanca yang memerintah kerajaan Jampang Datar dan kerajaan Malabar Bandung. Oleh Sugiwanca kerajaan Jampang Datar dipasrahkeun kepada Kujang Pilawa.

Setelah memerintah, Kujang Pilawa mengganti nama kerajaan menjadi kerajaan Jampang Manggung yang terletak dipuncak gunung Jampang Manggung diwilayah kecamatan Cikalong Kulon sekarang. Kerajaan ini pernah mendapat serangan dari kerajaan Daka dari India, namun dapt dipatahkan. Beberapa benda pusaka peninggala kerajaan Daka yang berhasil direbut masih disimpan dengan baik oleh KH. Djalaluddin Isaputra ahli waris kerajaan Jampang Manggung. Kerajaan Jampang Manggung diperintah oleh 20 orang raja secara turun temurun, pada kesempatan ini karena terbatas waktu penulis hanya menyampaikan suasana pemerintahan pada jaman Prabu Laksajaya raja Jampang Manggung terakhir yang sejaman dengan Dalem Cikundul.

Pada masa pemerintahan Prabu Laksajaya, agama Islam sudah dianut oleh raja dan rakyat Jampang Manggung. Penyebar agama Islam diwilayah cikal bakal Cianjur ini adalah Rangga Wulung raja Jampang Manggung ke 19. Ia adalah kakak kandung Laksajaya, Ranggawulung meletakkan tahta raja untuk diserahkan kepada Laksajaya adiknya, Rangga Wulung lebih tertarik mendalami agama Islam dengan berguru kepada Sunan Gunung Jati Cirebon. Oleh Sunan Gunung Jati Cirebon, Rangga Wulung setelah mendalami agama Islam di Cirebon, kemudian diberangkatkn ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Setelah menjadi ulama ia diberi nama Syeh Abdul Jalil, ialah yang berjasa menyebarkan Islam diwilayah Jampang Manggung / Cianjur.

Namun setelah wafatnya Syeh Abdul Jalil, tidak ada lagi ulama yang mumpuni untuk memimpin pembinaan akidah warga Jampang Manggung. Oleh karena itu, Prabu Laksajaya kemudian mengirim surat kepada Sultan Cirebon Panembahan Ratu agar mengirim ulama ke Jampang Manggung . Selain itu Laksajaya meminta agar ulama yang nantinya dikirim harus dapat mengajarkan cara menanam padi disawah yang saat itu disebut Huma Banjir sebab rakyat Jampang Manggung masih belum terbiasa menanam padi disawah karena terbiasa menanam padi digunung-gunung (huma). Sultan Cirebon kemudian mengirimkan Raden Jayasasana untuk membina akidah warga Jampang Manggung, selain itu ia juga mengajarkan cara menanam padi di sawah, maka dengan adanya keterangan ini diperkirakan Raden Jayasasana adalah tokoh yang pertamakali mengajarkan cara menanam padi di sawah di Cianjur / Jampang Manggung. Karena cakap dan cerdas, Raden Jayasasana akhirnya seringpula dilibatkan dalam berbagai urusan pemerintahan dan militer. Malah tatkala kerajaan Jampang Manggung mendapat serangan dari pasukan Banten, Jayasasana turut memimpin pasukan mengusir pasukan Banten dari Jampang Manggung. Rd. Jayasasana dinikahkan dengan Dewi Amitri putri Hibar Palimping Patih Jampang Manggung yang kebetulan tidak memiliki anak lekaki . Dan karena Prabu Laksajaya juga tidak memiliki anak laki-laki, Jayasasana kemudian terpilih menggantikan Prabu Laksajaya.

Namun Jayasasana tidak meneruskan pemerintahan sebagai seorang raja, ia kemudian membuka pemerintahan baru dipinggir sungai Cikundul, oleh karena itu Raden Jayasasana populer dengan sebutan Dalem Cikundul, oleh Sultan Cirebon ia diberi gelar nama Raden Aria Wiratanu. Sejarah Dalem Cikundul juga terdapat beberapa versi, yang sudah dikenal adalah versi yang menyatakan bahwa Dalem Cikundul adalah keturunan Raja Talaga akan dijelaskan oleh nara sumber lain. Pada bagian penutup ini penulis menyarankan kepada Pemerintahan Kab. Cianjur agar membentuk tim guna menyusun kembali sejarah Cianjur yang lebih luas tidak seperti buku-buku babad Cianjur yang sudah ada hanya sebatas sejarah Dalem Cikundul dan keturunanya. Tentunya tim tersebut harus melibatkan pakar sejarah yang diakui keberadaannya ditanah air sebagai penyusun buku sejarah berdirinya sebuah kota atau kabupaten.

Sumber :
-Babad Mataram Islam
-Sejarah Cianjur oleh Drs. Bayu Surianingrat
-Babad Cianjur oleh R. Syarifah Didoh
-Babad Cianjur oleh RH. Abbas Syihabudin
-Babad Cianjur ku Gan Ebo
-Wawacan Jampang Manggung .KH. Djalaluddin Isaputra sesepuh pontren Bina Akhlak Cianjur

Sumber tulisan :
https://www.facebook.com/groups/www.fauzisalaka/permalink/10155306106448723/

Comments

Popular posts from this blog

Lambang Bandera Pajajaran

Lambang dina Tetengger Makam Kuno Gunung Nagara  (Dokumen Salakanagara) Ku : kang Aan Merdeka Permana - Admin Salakanagara DIDUGA, makam kuno anu aya di lokasi Gunung Nagara jumlahna leuwih ti 52 jumpluk, ngan henteu kabeh makam nyesakeun tetengger. Nu masih keneh aya tetenggerna oge teu kabeh bisa kabaca sabab geus leungit kaheab ku waktu. Ngan dina intina, sanajan tetep masih samar-samar, eta kumpulan makam kuno teh hiji kumpulan masarakat anu ngababakan sabondoroyot, datangna ti Dayeuh Pakuan Pajajaran. Eta teh ku nengetan ngaran-ngaran anu dina catetan para sejarawan aya kacatet. Ieu di handap aya perelean sawatara lambang nu nyampak dina tetengger, tur ditapsirkeun naon eusina. Bentang Pramu Gyaha (bintang si curuk dalapan), nyaeta lambang bandera Pajajaran. Tali Jemani. Maksudna, tanda pertalian getih turunan para raja. Dina jaman eta mah, maksudna, katurunan atawa aya tatali kulawarga jeung Sri Baduga Maharaja. Im’bun kasta diserenkeun tanda ieu ka

ASAL USUL NAMA JL.LEUWIGAJAH

Mengapa ada nama Leuwigajah di Cimahi? Apa dulu memang pernah hidup Gajah di Cimahi, terus mandi di Leuwi? Begitu pertanyaan beberapa kawan soal toponimi atau asal usul nama Leuwigajah. Nah soal Leuwigajah, memang benar berasal dari cerita gajah yang mandi, lebih tepat, dimandikan di leuwi. Leuwi adalah kosakata bahasa Sunda. Dalam bahasa Indonesia, kira-kira sama artinya dengan Lubuk. Berdasarkan Babad Batulayang, seperti yang dikutip dalam buku Sejarah Cimahi, dulu Dalem Batulayang, yaitu Dalem Abdul Rahman, ditugaskan membantu VOC di Palembang. Jabatan Dalem Batulayang lalu diserahkan kepada adiknya. Tahun 1770, Abdul Rahman kembali pulang ke Batulayang, sambil membawa oleh-oleh berupa seekor gajah besar. Karena itu pula, Abdul Rahman dikenal sebagai Dalem Gajah. Selama gajah itu hidup, selalu dimandikan di sebuah Leuwi atau lubuk di daerah Cimahi Selatan. Akhirnya, tempat itu pun dikenal sebagai Leuwigajah. Sementara bukit di belakang Cibogo, dikenal sebagai Gunung Gajah Lan